Thursday, December 30, 2021

Ummu Aiman: Budak Nabiﷺ dan Pengasuhnya

Baca Artikel Lainnya di https://griyakajiansunnah.blogspot.com

Namanya adalah Barakah binti Tsa’labah bin Amru bin Hishan bin Malik bin Salmah bin Amru bin Nu’man Al-Habasyiyah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewarisi wanita ini dari ayah beliau, dan Ummu Aiman senantiasa mengasuh Rasulullah hingga dewasa. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Khadijah binti Khuwalid, beliau memerdekakan Ummu Aiman yang kemudian dinikahi oleh Ubaidullah bin Haris Al-Khazraji. Darinyalah ia melahirkan Aiman, yang pada gilirannya ikut berhijrah dan berjihad bahkan syahid tatkala perang Hunain.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memuliakan Ummu Aiman, beliau sering mengunjunginya dan memanggilnya dengan kata, “Wahai Ibu, ….” Beliau bersabda,

هَذِهِ بَقِيَةُ أَهْلِ بَيْتِى,وَيَقُوْلُ أّيْضًا:أُمُّ أّيْمنٍ أُمِّي بَعْدَ أُمِّي

“Beliau (Ummu Aiman) termasuk ahli baitku.” Beliau juga bersabda, “Ummu Aiman adalah ibuku setelah ibuku.”

Ummu Aiman senantiasa berkhidmat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan lemah lembut terhadap beliau. Setelah datangnya masa kenabian, beliau bersabda,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ امْرَ أَةً مِنْ أَهْلِ الْحَنَّةِ فَلْيَتَزَوًجْ أُمً أَيْمَنٍ

“Barang siapa yang ingin menikah dengan wanita ahli surga maka hendaklah menikahi Ummu Aiman.”

Akhirnya, Zaid bin Haritsah menikahinya pada malam ketika ia diutus oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengannya, akhirnya Ummu Aiman melahirkan Usamah bin Zaid, buah hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketika Rasulullah mengizinkan kaum muslimin untuk berhijrah ke Madinah, Ummu Aiman termasuk wanita yang berhijrah angkatan pertama. Ummu Aiman berhijrah di jalan Allah dengan berjalan dan tanpa membawa bekal. Pada saat hari sangat panas, sementara ia sedang melakukan puasa, ia sangat kehausan, tiba-tiba ada ember di atasnya yang menjulur dari langit dengan tali berwarna putih. Lalu, Ummu Aiman meminum air yang di dalamnya hingga kenyang. Ummu Aiman berkata, “Saya tidak pernah lagi merasakan haus sesudah itu. Sungguh, saya biasa menghadapi rasa haus dengan puasa di siang hari, namun kemudian aku tidak merasakan haus lagi setelah minum air tersebut. Meskipun aku puasa pada siang hari yang panas, aku tetap tidak merasakan haus.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap lemah lembut kepadanya dan terkadang mengajaknya bercanda karena ia seperti ibunya sendiri. Telah diriwayatkan bahwa suatu ketika ia berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, bawalah (ajaklah) aku ….” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Aku akan membawamu di atas anak unta.” Ummu Aiman berkata, “Anak unta tidak akan mampu membawaku. Lagi pula, aku tidak menyukainya.” Nabi bersabda, “Aku tidak akan membawamu kecuali dengan anak unta.” Ini adalah canda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu Aiman. Hanya saja, sekali pun beliau bercanda namun tidak mengatakan kecuali yang benar, sebab setiap unta adalah anak unta.

Ummu Aiman adalah seorang wanita yang cadel suaranya. Suatu ketika, beliau ingin menyeru kaum muslimin pada perang Hunain dan berkata, “Sabbatallahu aqdamakum (semoga Allah mengistirahatkan kaki kalian).” (Padahal mungkin yang dimaksud adalah “tsabbatallahu aqdamakum (semoga Allah mengokohkan kaki kalian”, pent.). Karenanya, Nabi bersabda,

أُسْكُبِى يَا أُمَّ أَيْمَنٍ فَإِ نَّكِ عُسَرَاءُاللِّسَانِ

“Diamlah, wahai Ummu Aiman, karena Anda adalah seseorang yang cadel lisannya.”

Suatu ketika, Ummu Aiman masuk ke dalam rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengucakan salam, “Salamun la alaikum (keselamatan bukan atas kalian),” padahal yang dimaksud adalah “assalamu ’alaikum“. Akan tetapi, beliau memberikan rukhshah kepadanya untuk mengucapkan salam (salamun la alaikum).

Di samping itu, Ummu Aiman memiliki sifat-sifat yang terpuji, ditambah lagi pada usianya sudah tua, beliau tidak mau tinggal diam, beliau ingin menyertai para pahlawan Islam dalam menghancurkan musuh-musuh Allah subhanahu wa ta’ala untuk meninggikan kalimat-Nya. Oleh sebab itu, ia ikut dalam perang Uhud dan ikut andil dengan kemampuan yang ia miliki, ia memberikan minum bagi pasukan muslim dan mengobati yang terluka. Ia juga menyertai perang Khaibar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Bakar berkata kepada Umar, “Pergilah bersama kami menemui Ummu Aiman, kita akan mengunjunginya sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengunjunginya.” Tatkala mereka sampai di rumah Ummu Aiman, ternyata ia sedang menangis, keduanya berkata, “Apa yang membuat Anda menangis? Bukankah apa yang di sisi Allah lebih baik bagi Rasul-Nya?”

Ummu Aiman menjawab, “Bukanlah saya menangis karena tidak tahu bahwa apa yang di sisi Allah lebih baik bagi Rasul-Nya, hanya saja saya menangis karena telah terputusnya wahyu dari langit.” Hal itu membuat Abu Bakar dan Umar menangis, sehingga keduanya menangis bersama Ummu Aiman.

Pada saat terbunuhnya Umar bin Khaththab, Ummu Aiman menangis sambil berkata, “Pada hari ini, Islam menjadi lemah.”

Ummu Aiman, Menangis karena Melemahnya Kekuatan Islam

Dalam perjalanan pulang dari mengunjungi saudara-saudara suaminya dari Bani Najjar di Yatsrib (Madinah), ajal menjemput Aminah binti Wahab. Ia meninggalkan putranya yang telah yatim dan baru berumur empat tahun bersama seorang hamba sahaya. Budak (hamba sahaya) inilah yang merawat dan menemaninya dalam kesedihan ditinggal sang ibunda dan melintasi perjalanan menuju ke Mekah dalam terik matahari serta panasnya batu dan pasir gurun. Anak itu adalah Muhammad bin Abdullah (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam) dan budak itu adalah Ummu Aiman Al-Habasyiyyah radhiallahu’anha.

Inilah kisah tentang seorang budak wanita yang paling beruntung di dunia, seorang budak yang menjadi warisan bagi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari ayahnya, Abdullah Abdul Muthalib, dan setelah menikah dengan Khodijah radhiallahu’anha, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memerdekakannya. Dialah yang merawat Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam sewaktu kecil, sehingga beliau menganggapnya seperti ibu sendiri. Apalagi, ia adalah istri putra angkat beliau Zaid bin Haritsah, yang karena kasih sayang beliau kepadanya, Nabi pernah menisbatkan nama beliau kepadanya dengan sebutan “Zaid bin Muhammad” hingga Allah mengharamkan penisbatan nama kepada selain ayah kandung sendiri. Dan bertambah pula keutamaan Ummu Aiman dengan adanya Usamah bin Zaid, putra mereka yang menjadi kesayangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam kasus pencurian oleh Al-Makhzumiyyah. Aisyah radhiallahu’anha berkata, “Siapa yang berani berbicara (meminta keringanan hukum) kecuali Usamah, kesayangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.”

Kalau saja ada anggota keluarganya yang lain pasti akan menjadi kesayangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pula, sebagaimana perkataan Ibnu Umar, yang diceritakan oleh Harmalah maula Usamah bin Zaid, “Tatkala ia duduk bersama Ibnu Umar, ketika itu masuklah Hajjaj bin Aiman, lalu ia melaksanakan shalat, dan shalatnya tidak sempurna rukuk dan sujudnya, maka Ibnu Umar memanggilnya dan berkata, ‘Apakah engkau mengira bahwa shalatmu sudah sah? Sesungguhnya shalatmu belum sah, maka ulangilah!’ Ketika ia telah pergi, Ibnu Umar bertanya, ‘Siapakah dia?’ Saya jawab, ‘Dia adalah Hajjaj bin Aiman Ibnu Ummu Aiman.’ Maka Ibnu Umar menjelaskan, ‘Kalau saja Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya pasti beliau pun kan menyayanginya’.”

Itulah kemuliaan yang diperoleh oleh Ummu Aiman dan anak keturunannya, yang tidak didapatkan oleh orang selain mereka.

KEIKUTSERTAANNYA DALAM DUA HIJRAH (HABASYAH DAN MADINAH)

Karena tiada hentinya siksaan kaum musyrikin terhadap orang-orang yang masuk Islam, terutama orang-orang yang lemah dan keturunan tak terpandang, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam meminta para sahabatnya untuk hijrah ke negeri Habasyah demi menyelamatkan agama mereka, dengan meminta perlindungan kepada Raja Najasy yang ternyata bersedia memberi jaminan keamanan kepada mereka. Terutama keamanan sebagian besar kaum muslimin yang mengkhawatirkan diri dan keluarga mereka dari kaum Quraisy. Peristiwa ini terjadi pada tahun kelima dari masa kenabian. Bersama rombongan kaum muslimin yang berjumlah kurang lebih 70 orang itulah Ummu Aiman bergabung untuk menyelamatkan diri dan agamanya dari orang-orang kafir, sampai datang pertolongan dari Allah.

Hijrahnya yang kedua adalah ke Madinah Nabawiyyah, kota yang menjadi pusat perkembangan Islam dan tanah haram yang kedua, negeri yang dicintai oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam doa beliau: “Ya Allah, jadikanlah kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Mekah, atau lebih.” Di sanalah Ummu Aiman menetap hingga akhir hayatnya.

ARTI TANGISAN UMMU AIMAN

Sekitar dua setengah bulan sekembalinya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari menunaikan ibadah haji, beliau menderita sakit. Hari demi hari sakitnya makin bertambah parah. Setelah merasa tidak mampu menjadi imam shalat, beliau meminta Abu Bakr untuk menggantikan beliau. Akhirnya, tepat pada hari Senin tanggal 12 Robi’ul Awwal, beliau kembali menghadap Allah Ta’ala.

Berita kematian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sampai kepada para sahabat. Hampir saja mereka tak sadar dan tidak mempercayai berita tersebut, hingga akhirnya Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu’anhu, bangkit untuk menenangkan mereka, dan menjelaskan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam hanya manusia biasa yang juga mati seperti manusia lain. Mereka akhirnya pun sadar.

Sebagaimana sahabat yang lain Ummu Aiman juga menangisi kematian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, menangis karena ditinggal orang yang paling dicintainya setelah Allah, dan dahulu pernah ia rawat dan asuh dengan penuh kasih sayang, dan yang menyayanginya dan keturunannya.

Setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Bakar berkata kepada Umar: “Mari kita mengunjungi Ummu Aiman seperti yang biasa dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidup.” Ketika mereka datang ia pun menangis, mereka berdua bertanya, “Apa yang membuatmu menangis? Apa yang ada di sisi Allah, lebih baik bagi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.” Ia menjawab sembari terus menangis, “Saya menangis bukan karena tidak tahu bahwa apa yang disediakan Allah untuk Rasul-Nya jauh lebih baik tetapi aku menangis karena wahyu telah terputus dari langit.” Sehingga Abu Bakar dan Umar pun ikut menangis.

Itulah sebuah makna dari tangisan Ummu Aiman, tetasan air mata yang sangat berharga, meleleh jatuh membasahi pipinya karena terputusnya wahyu seiring kematian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak akan ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketika Khalifah Umar bin Khaththab terbunuh di tangan Abu Lu’lu’ah, Ummu Aiman juga menangisi kematiannya sembari berkata, “Hari ini Islam melemah (dengan terpecahnya pintu fitnah).”

Wanita agung lagi mulia ini menangis karena kekuatan kaum muslimin mulai terpecah-belah seiring syahidnya Khalifah Umar bin Khaththab. Sungguh tangisanmu sangat berarti, wahai Ummu Aiman. Sungguh tetesan air matamu sangat mulia, wahai ibunda Usamah bin Zaid pemimpin perang termuda pilihan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana dengan tangisan kita, wahai wanita muslimah?!

WAFATNYA UMMU AIMAN

Pada akhir khilafah Utsman bin Affan, Ummu Aiman menghadap Allah Ta’ala wafat menyusul junjungan dan putra asuhnya, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, setelah ikut dalam perjuangan membela Islam, menggembleng putra-putranya menjadi mujahid-mujahid sejati, dan tak ketinggalan untuk ikut terjun langsung dalam membantu merawat dan memberi minum para mujahid pada perang Uhud dan Khaibar.

Semoga Allah meridhai dan menempatkannya di tempat yang paling tinggi bersama orang-orang yang dicintainya.

Sumber: Majalah Al-Mawaddah, Edisi 9 Tahun ke-1 Robi’ul Akhir 1429/April 2008

Sumber: Mereka adalah Para Shahabiyah, Mahmud Mahdi Al-Istanbuli dan Musthafa Abu An-Nashir Asy-Syalabi, Pustaka At-Tibyan, Cetakan ke-10, 2009.

Disertai penyuntingan bahasa oleh redaksi www.KisahMuslim.com

Artikel www.KisahMuslim.com

Baca Artikel Lainnya di https://griyakajiansunnah.blogspot.com


No comments:

Post a Comment